Mimpi Timnas Indonesia U-17 lolos piala asia 2023 kini diujung tanduk. Garuda Muda kalah telak dari Malaysia dengan skor mencolok 1-5.
Kekalahan ini tak hanya menyakitkan. Tapi juga memalukan. Karena kekalahan ini mengulangi mimpi buruk Timnas Indonesia kala bersua Malaysia. Di hampir semua ajang. Indonesia hampir selalu kalah saat berhadapan dengan Harimau Asia.
Sebelum pertandingan di mulai Timnas U-17 berada di atas angin. Punya 9 poin dan memimpin klasemen. Sedangkan Malaysia koleksi 7 poin di peringkat kedua.
Dengan poin itu. Indonesia sebetulnya hanya butuh hasil imbang saat berhadapan dengan Malaysia. Tapi entah apa yang terjadi. Permainan yang memukau di liga laga perdana; saat melawan Guam, UEA dan Palestina. Tak terlihat tadi malam.
Di mana permainan bagus itu? Di mana tendangan spekatakuler itu? Di mana kecepatan-kecepatan itu? Di mana kerjasama api itu? Semua tak terlihat.
Indonesia harus tertinggal 3 gol dalam waktu singkat. Semua terlihat serba salah. Semua terlihat tak masuk akal.
Pelatih sudah mencoba melakukan perubahan. Memasukkan dua pemain pengganti sekaligus. Di tengah babak pertama. Sebuah perubahan yang jarang dilakukan di pertandingan umum. Tapi semua sudah terlambat. Indonesia sudah tertinggal 3-0.
Dan dalam pertandingan sepakbola. Skors 3-0 adalah angka mati. Setiap pemain bola tahu itu. Itu adalah “the end” dari pertandingan. Semakin melawan. Semakin dalam. Ibarat tersedak ke pasir hisap.
Tak banyak tim yang bisa melewati “kutukan” itu. Hanya ada beberapa. Salah satunya Liverpool saat mengalahkan AC Milandi Fimal Liga Champion tahun 2004. Setelah sempat tertinggal 3-0 di waktu normal.
Bicara soal sepakbola. Tentu bukan cuma ada menang dan kalah. Ada opsi ketiga. Yaitu imbang. Indonesia sejatinya hanya butuh hasil imbang. Hasil itu bisa mengantarkan Indonesia ke final Piala Asia 2023 tahun depan. Dengan mudah.
Tapi kini semua berubah. Kekalahan membuat Indonesia harus menyerahkan nasib kepada negara lain. Bergantung dan berharap pada runner terbaik. Tapi hanya lima runner up terbaik dari 10 grup yang bisa lolos. Selebihnya. Hanya juara grup yang bisa langsung lolos. Apakah Indonesia bisa masuk runner up terbaik?
Kita tak akan membahas permainan pasukan Garuda Muda. Mereka sudah maksimal. Mereka sudah mati-matian. Saya tahu rasanya. Rasa berada di lapangan. Rasa tegang melawan negara tetangga. Ditambah “beban moral” harus menang. Karena tampil di kandang. Di Stadion Pakansari, Bogor. INDONESIA.
Yang jadi pertanyaan besarnya adalah; Kenapa Indonesia tak memilih opsi imbang? Menjaga kedalaman. Kalau perlu menumpuk pemain di belakang. Parkir bus. Parkir trailer sekalian. Kenapa? Kenapa tidak dilakukan?
Apa kita terlalu percaya diri? Apa kita terlalu yakin? Apa kita terlalu tinggi hati? Apa kita terlalu keas kepala? Apa kita terlalu malu? Untuk bermain bertahan. Bertahan demi mencapai kemenangan.
Banyak tim yang rela melakukan itu. Rela meredam emosinya. Semua demi kemenangan. Demi kejayaan. Intermilan pernah melakkannya. Mereka bertahan sangat dalam. Saat menghadapi Barcelona di leg 2 Semi Final Liga Champion tahun 2009.
Meski banyak dikritik. Strategi itu berbuah manis. Jose Mourinho yang jadi pelatih berhasil melewati hadangan Barcelona. Dan masuk ke Final. Hingga akhirnya Juara. Sejak itu. Jose Mourinho mendapat julukan “special one”.
Malaysiapun pernah melakukannya. Mereka tak malu. Menumpuk pemain di belakang saat berhadap dengan Indonesia di Piala AFF. Pun begitu dengan Vietnam dan Thailand yang di piala AFF beberapa waktu lalu. Mereka rela menahan diri. Bermain aman. Hanya untuk mendapat hasil imbang. Hasil yang akhirnya membuat kedua tim lolos. Ke semi final. Dan hasil imbang itu juga yang membuat Indonesia harus tersingkir. Karena kalah head to head. (moerni)