Saya pernah berkata bahwa hidup dengan gaji UMR di Indonesia timur jauh lebih enak dan cukup ketimbang gaji UMR di Jabodetabek..
Kita ambil contoh-contoh sederhana saja di Jabodetabek. Anda akan melihat bahwa biaya hidup di Jabodetabek adalah permasalahan yang kompleks, mulai dari masalah “kualitas hidup berbanding terbalik dengan jumlah populasi”, sampai masalah-masalah sosial budaya.
Tempat tinggal
Banyak dari anda yang akan berkata bahwa, “kosanku sebulan 750 dapet kok”, dan banyak dari anda yang akan mengatakan bahwa “yaa di jakarta itu minimal 2 juta sebulan lah untuk tempat tinggal yang baik”..
Dua-duanya bener, tapi konteksnya beda. Kos-kosan murah di Jabodetabek itu biasanya berlokasi tidak strategis, misalkan kumuh, akses jelek, atau jauh dari transportasi publik. Ya, bisa banget anda tinggal di tempat seperti ini, namanya juga terpaksa, ya kan. Tapi tidak semua bisa tinggal di lingkungan seperti ini, khususnya anda yang punya keluarga atau.. memiliki kepercayaan atau penampilan berbeda dengan sekitarnya. Selain itu, kalau anda dapat tempat tinggal dari website ibukos, bisa saja di tempat kos tersebut tidak boleh masak, yang tentu akan menambah pengeluaran anda.
Misalkan anda mengambil solusi tinggal di apartemen murmer, akan ada pengeluaran baru yaitu IPL dan sinking fund. Ini biaya-biaya yang mesti dikeluarkan tiap bulan.
Jabodetabek adalah ladang uang bagi para developer real estate, mereka yang menawarkan daerah asri, aman, bebas banjir dengan harga mahal. Anda akan berpikir, kok banyak orang yang mau beli daerah seperti itu? Kan diluar kompleks banyak banget perumahan yang lebih murah, lebih luas, tidak banjir pula.
Nah, ketika ilmu ekonomimu gagal maka ilmu sosialmu yang mesti jalan.. Di Indonesia ada peraturan yang kira-kira intinya seperti berikut:
“Mau bangun tempat ibadah, perlu persetujuan warga sekitar”.
Gimana caranya bangun rumah ibadah bagi yang minoritas? Ya beli daerahnya, ya kan. Kalau “warga sekitar”nya juga minoritas, ya bisa bangun rumah ibadah kan? Makanya di daerah-daerah yang katanya intoleran, toh rumah ibadah di area-area developer tidak terganggu[1].
Atau alasan-alasan seperti preman minta-minta makan tiap hari hanya karena tampangmu kelihatan seperti suku yang tajir. Mending pindah ke area elit, bukan?
Ketika developer-developer real estate ini laku keras, maka hasilnya properti yang dibeli harganya overprice juga. Nah bayangkan ruko dipakai usaha yang harga sewanya sekitar 75 juta setahun ya. Masa mereka jual bakso ayam harga 10 ribu seporsi, ya kan? Kagak nutup lah, minimal 35 ribu seporsi.
Saat anda tidak mampu untuk masak sendiri di rumah, tapi tidak mampu cari makanan sehat dan murah, maka makanan pinggir jalan solusinya.. Yang berarti kita masuk ke aspek berikutnya yaitu..
Kesehatan
Meski keluarga saya identik dengan dokter-dokter, sesungguhnya saya lebih suka jadi dokter mesin ketimbang manusia karena mesin kagak komplain. Jadi untuk segmen ini singkat saja.
Diare di Bali, sama diare di Jabodetabek, biayanya beda lumayan jauh.
Para jombloers biasanya kagak ngitung biaya kesehatan disini. Taunya di Jakarta bisa banget hidup murah beli ketoprak harga ceban tiap hari di abang depan rumah. Bosen beli bakso. Nanti beli nasi padang. Masalahnya asuransi kesehatan dengan limit yang cukup di Bali, belum tentu akan cukup di Jakarta. Ya karena biaya rumah sakitnya beda. Padahal sakitnya sama, obatnya juga sama. Mau pake bpjs? Nunggu antriannya beda jauh..
Monggo hubungi ko Chris Oei untuk masalah asuransi.
Next..
Sekolah
Nah ini biaya yang sering disepelekan orang. Sekolah gratis kok SD sampe SMP! Lu aja yang boros mau ke sekolah swasta!
Ara-ara..
Semakin tua anak, sekolah yang dipilih jadi semakin menentukan masa depan.. Karena lingkaran pertemanannya dari sini semua. Dari lingkungan pertemanan, ada anak yang tumbuh berpikir bahwa cari uang itu gampang, tinggal bareng-bareng mulai sebuah bisnis, ada juga anak yang tumbuh berpikir bahwa cari uang itu mesti sekolah tinggi dan cari kerja bagus..
Perbedaan cara berpikir ini membawa ke target jangka panjang yang berbeda juga.
Sayangnya, harga sekolah unggulan di Jabodetabek dan propinsi lain, beda jauh[2] . Sangat jauh.
Saya baru nulis soal 3 topik ya..
Saya bahkan tidak perlu menambahkan soal gaya hidup atau entertainment. Di Bali, anda bawa mobil, parkir di lapangan Renon, jalan pagi dari jam 6 pagi sampai jam 9, keluar bayar parkir 2 ribu. Di Jakarta? Depok? Numpang lewat aja udah 4 ribu.
Belum lagi transportasi, kalau anda menggunakan transportasi pribadi di Jabodetabek, uang anda habis di bahan bakar, karena konsumsi BBM dalkot Jabodetabek dan propinsi lain itu beda jauh. Belum lagi jalanan yang tidak layak, sehingga keluar lagi biaya untuk perawatan transportasi pribadi. Sedangkan kalau anda tinggal di provinsi lain, anda cukup kerja selama 1 tahun dan bisa cicil motor.. Motornya sudah bisa dipakai keliling-keliling dengan nyaman.
Di Bali atau Balikpapan, ada saja kantor yang mengizinkan 3 jam sehari untuk keluar kantor di hari kerja, misalkan urusan samsat, urus paspor, bank, dan sebagainya. Di Jakarta, kalau peraturan ini ditetapkan maka perusahaan bisa boncos, karena kadang ngurus ATM terblokir di bank aja udah setengah hari. Jam 7 berangkat, jam 9 sampe di bank, jam 11 baru kelar, jam 1 baru sampe kantor. Potong cuti setengah hari. Belum kalau ngurus paspor, ambil cuti sehari deh.
Jadi kalau anda tanya, apakah biaya hidup di Jabodetabek itu mahal? Jawabannya ya, sangat mahal jika dibandingkan dengan kualitas hidup yang didapat. Sangat wajar jika untuk pekerjaan yang sama, Jabodetabek membayar karyawan lebih mahal. Dan memang seharusnya seperti itu.