Awalnya pasti kaget dong. Sesuatu yang kita bangga-banggakan ternyata tidak dibuat oleh tangan bangsa kita sendiri. Mau berita yang lebih mengejutkan, gak? Ternyata mayoritas sahamnya sudah dikuasai asing loh. Kita tidak punya apa-apa selain driver-nya yang masih orang Indonesia. Namun kalau melihat dari sudut pandang bisnis, mungkin ini pilihan yang tepat. Bisnis harus jalan, gak boleh kalah dari kompetitor, dan jangan telat berinovasi, bukan begitu?
CEO Gojek waktu itu, Nadiem Makarim, pernah memuji kualitas programmer India dan secara tersirat merasa kecewa dengan kualitas programmer lokal[1][2]. Saya cukup sependapat dengan beliau setelah melihat langsung kondisi di lapangannya bagaimana. Hal yang sama juga dirasakan oleh teman saya yang lebih dulu bekerja di sini. Beliau bilang kalau merge/pull request di sini gak perlu banyak komentar seperti di perusahaan sebelumnya.
Sebagai contoh, hanya sedikit programmer yang paham mengapa data class
pada Kotlin tidak baik dalam beberapa kondisi[3], atau kode ini yang bikin sakit mata para programmer senior:
Tidak selamanya kode yang lebih pendek itu punya performa lebih baik.
Atau dalam penamaan function terkadang masih tidak mengikuti naming conventions yang benar. Misalnya, isEnable
seharusnya ditulis isEnabled
. Hal-hal kecil seperti ini mempengaruhi kualitas dan keindahan kode. Menulis kode itu bukan cuma it just works, tetapi harus diperhatikan juga dokumentasi dan readability-nya.
Di Indonesia, banyak programmer yang katanya “senior” itu ternyata masih noob dalam menulis kode. Sudah dinasehati dalam pull request, tetapi masih saja mengulangi kesalahan yang sama. Orang-orang begini seperti katak dalam tempurung yang tidak pernah melihat kode cantik open source di dunia luar itu seperti apa. Tipikal orang Indonesia banget. Kerja, terima gajian, pulang. Minim improvisasi.
Hal menjengkelkan seperti ini jarang saya temui pada programmer India. Dari yang saya amati, kualitas kode yang dibuat oleh programmer India itu berbeda dengan buatan kita orang Indonesia. Tidak perlu banyak komentar ketika me-review pull request karena kualitasnya bisa diacungi jempol. Anda perhatikan saja, kok yang jadi CEO big tech companies di dunia sekarang banyak dipegang sama orang India?
Jadi, daripada menunggu programmer Indonesia matang, bukankah lebih baik mencari programmer yang sudah matang saja meskipun itu harus ke luar negeri? F*ck nationalism! Kalau Gojek diisi oleh orang-orang yang kurang berkualitas, nanti bisa kalah sama Grab dong?
Makanya tidak heran kalau Gojek termasuk perusahaan yang seleksinya super ketat. Bahkan untuk melamar jabatan level 6 (senior manager ke atas) saja harus melalui coding test, karena manager juga terjun ke lapangan (ikutan ngoding juga) nantinya, supaya melihat langsung apa yang terjadi kepada bawahannya. Tujuannya agar manager punya empati kepada anggotanya, sehingga bisa membuat perencanaan lebih matang ke depannya.
Tidak perlu kaget mengapa banyak sekali manager dari perusahaan lain yang ditolak Gojek karena logikanya sudah tumpul akibat tidak pernah ikut ngoding lagi. Kelamaan terlibat urusan manajerial itu jebakan lho. Jangan bangga punya jabatan manager tapi bodoh ngoding dan keahliannya cuma bisa nyuruh orang, haha 🤣. Punya manager yang goblok ngoding itu menyebalkan, percayalah…